Attention

Thanks a lot for visit my blog. Blog ini belum sepenuhnya lengkap dan sempurna, silahkan tinggalkan komentar yang membangun untuk melengkapi blog ini. Thank you for your attention. .

Like this blog on Facebook

Selasa, 17 Januari 2012

RESUME BUKU RELOGIOSITAS, AGAMA DAN SPIRITUALITAS

BAB I

MANUSIA, MAKHLUK TRANSENDEN

Manusia merupakan salah satu makhluk penghuni planet bumi. Ia hidup di atas bumi di mana ada berbagai benda mati dan makhluk hidup lain. Di bumi, manusia hidup bersama dengan sesama manusia dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar, suku, bangsa, bahkan dunia dengan beragam perbedaan. Dalam hidupnya manusia juga tunduk pada hukum-hukum alam seperti makhluk lain.

Sebagai makhluk material, bertubuh, berbadan, dan beraga, manusia harus menaati hukumfisik dan fisiologis. Secara fisik tubuh manusia dapat memar dan hancur, dapat robek dan tembus bila ditusuk dengan benda-benda tajam, dapat melepuh dan terbakar, dapat pula lemas dan kehabisan daya, serta dapat menguap bila terkena radiasi kuat. Secara fisiologis, tubuh manusia dapat terganggu, sakit, rusak dan mati jika mesin tubuh itu diganggu, dirusak, dan dimatikan. Tubuh manusia tidak dapat berfungsi normal dan penuh jika dikurangi atau ditiadakan kemampuan geraknya, dikurangi ruang geraknya, dimanipulasi syaraf-syaraf pengandali gerak tubuhnya. Tubuh manusia juga tidak berfungsi baik bila udara yang masuk ke dalam tubuhnya dipersulit. Tubuh manusia juga akan mati bila tidak diberi makanan.

Seperti makhluk hidup lain di bumi, manusia membutuhkan waktu panjang dan proses yang rumit untuk berkembang dari fetus menjadi bayi sampai menjadi manusia dewasa yang normal. Secar fisik dan fisiologis manusia lebih unggul dari makhluk lain yang terletak pada kemampuannya berjalan tegak tidak ditentukan oleh kodrat dan insting, serta kemampuan mengambangkan daya fisik.

Karena manusia berjalan tegak di atas kedua kakinya, manusia dapat bergerak lebih leluasa. Manusia mempunyai kepala yang disangga oleh leher sehingga memudahkan untuk digerakkan. Kemudahan menggerakkan kepala itu membuat manusia mempunyai pandangan luas dan kemudahan memandang, sehingga membuat manusia dapat bereaksi terhadap apa yang dihadapi dengan lebih antisipatif dan cepat. Karena berjalan tegak manusia terlihat lebih gagah dan lebih higienis. Tubuh manusia lurus menjulang ke atas dan jauh dari berbagai kotoran yang berserakan di tanah.

Kodrat adalah keseluruhan dari makhluk yang mencakup segala unsure lahir dan batin, badan dan jiwa, material dan spiritual. Kodrat manusia adalah keseluruhan unsur lahir dan badan yang membuat manusia menjadi manusia dan tampil sebagai manusia. Berbeda dari makhluk lain, manusia tidak ditentukan oleh kodrat sejak awal.

Manusia menjadi sebagaimana adanya bukan karena ditakdirkan tetapi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia. Pertama, keadaan alam dan lingkungan mempengaruhi fisik manusia. Misalnya warna kulit manusia ditentukan juga oleh keadaan alam. Kedua, lingkungan masyarakat yang mempengaruhi pandangan dan nilai-nilai hidup, cara berfikir, berkehendak, berperasaan, dan berperilaku. Ketiga, faktor-faktor yang dengan sadar dirancang untuk membuat manusia menjadi manusia seperti yang diharapkan, antara lain pola pengasuhan di dalam keluarga dan pendidikan. Misalnya orang yang berbeda tingkat pendidikannya, berbeda pula gaya hidupnya.

Keempat, pengalaman hidup dan keputusan pribadi. Faktor yang paling menentukan kodrat manusia adalah manusia sendiri. Manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang pada dirinya sesuai dengan kehendak, cita-cita, serta kemampuannya dan memberdayakannya. Ini terjadi berkat pengalaman hidup dan keputusannya sendiri. Oleh karena itu manusia menjadi manusia sebagaimana adanya bukan karena kodrat, tetapi karena dipengaruhi alam dan masyarakat, pola pengasuhan dan pendidikan yang dijalaninya, dan oleh kemauan dan keputusan yang dibuatnya sendiri.

Seperti makhluk lain, manusia juga memiliki insting, yaitu dorongan untuk secara tidak sadar bertindak dengan cepat dan tepat pada waktu menghadapi rangsangan, tantangan, atau ancaman terhadap dirinya. Namun dalam keseluruhan hidupnyamanusia tidak hidup menurut insting. Makhluk lain menanggapi rangsangan secara otomatis, namun manusia akan mempertimbangkan beberapa hal seperti situasi dan kondisi sebelum menanggapi rangsangan tersebut. Makhluk lain memiliki kecakapan bawaan namun manisia tidak. Untuk bias cakap dalam sesuatu hal, manusia harus belajar, meniru, berlatih, dan mempraktekannya sendiri. Karena tidak hidup menurut insting, maka perilaku manusia juga tidak digariskan sejak awal dan seragam.

Semua makhluk hidup memiliki kemampuan menjaga, melindungi, dan mempertahankan diri. Untuk itu makhluk-makhluk memiliki senjata senjata alamiah. Misalnya, cakar, gigi, bias, dll. Tetepi manusia tidak memiliki senjata alamiah apapun, namun manusia mempliki kecakapan untuk mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap manusia lain atau makhluk lain bahkan tantangan alam. Untuk melawan tindakan yang membahayakan hidupnya manusia menggunakan akal. Efisiensi dan efektivitas hidup manusia didukung oleh pancaindra, kaki dan tangannya. Daya indra manusia masih kalah dengan makhluk lain, namun manusia mampu mengembangkan daya-daya indranya sehingga dapat mengalahkan kemampuan indra makhluk-makhluk lain. Anggota tubuh manusia amat mendukung hidupnya, sehingga mempermudah manusia dalam melakukan segala sesuaatu yang mendukung kehidupannya, dan manusia tidak perlu berjalan menggunakan tangan atau makan menggunakan mulut untuk mengambil makanannya. Dengan demikian dari segi fisik manusia lebih unggul dari pada makhluk-makhluk lain.

Keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain juga terletak pada segi spiritualnya. Daya spiritual manusia itu menggejala pada kemampuan berabstraksi, kesadaran diri, kebebasan, hati nurani, dan sifat transenden, yaitu keterbukaan terhadap hal-hal yang mengatasi diri dan berada di luar dirinya.

Kemampuan berabstraksi adalah kemampuan memisahkan dan menangkap salah satu segi atau unsure dari objek sehingga terlepas dari objek konkretnya. Abstraksi berasal dari kata latin abstrahere yang berarti menarik, melepaskan, menjauhkan, memisahkan. Dari kata itu terbentuk kata dalam bahasa inggris abstraction yang dalam bahasa Indonesia menjadi abstraksi. Ada tiga tingkatan dalam abstraksi.

Abstraksi tingkat pertama, terjadi jika manusia memisahkan segi-segi objek yang diamati dengan pancaindra dari keseluruhan objek itu. Dari abstraksi tingkat pertama kita mendapatkan ilmu fisika dan biologi. Abstraksi tingkat kedua, mengambil segi yang dapat dihitung dan diukur dari objeknya. Dari abstraksi tingkat kedua didapatkan ilmu matematika. Abstraksi tingkat ketiga adalah mengambil unsure keberadaan dari seluruh objek. Abstraksi tingkat ketiga menghasilkan ilmu filsafat. Melalui kemampuan abstraksi, manusia mampu menangkap dan menahan dalam budi, konsep, sifat-sifat, cirri-ciri umum suatu objek tanpa terkait pada objek yang ada secara konkret sebagaimana adanya di tempat tertentu dan pada waktu tertentu. Melalui persepsi, manusia mampu menangkap objek dan menyimpan gambaran dari objek konkret beserta segala sifat-sifatnya dalam pikirannya. Akan tetapi oleh kemampuan abstraksinya manusia mampu mendapatkan konsep atas objek yang dijumpainya, mampu menyimpan konsep itu di dalam budinya, dan menerapkannya pada pola objek yang sama pada kesempatan lain.

Berkat kemampuan berabstraksi itu manusia dapat berbahasa dan menggunakan lambang. Bahasa adalah rangkaian bunyi dan rangkaian huruf yang menyatakan arti, makna dari objeknya. Karena mampu berbahasa, manusia mampu berkomunikasi satu sama lain. Dan lambang adalah objek yang digunakan untuk menunjukkan suatu arti atau makna. Namun, lambang dan hal yang dilambangkan itu terpisah dan hanya dapat dimengerti jika hubungan antara lambang dan hal yang dilambangkan ditangkap.

Daya spiritual manusia juga tampak pada kemampuan manusia untuk menyadari dirinya. Sadar berarti mengenal sesuatu yang sebelumnya belum dikenal. Pada manusia, kesadaran itu tidak terbatas pada objek-objek yang di luar dirinya, tetapi juga yang ada pada dirinya sendiri. Melalui kesadarannya manusia dapat mengenal diri beserta perilakunya terpisah dari diri konkretnya. Manusia dapat menciptakan gerak antara dirinya dan dirinya yang sedang berperilaku tertentu. Kemampuan kesadaran diri itu membuat manusia mampu merenungkan diri dan meninjau kembali perilakunya guna membuat perubahan dan perbaikan atas perilakunya.

Daya spiritual manusia juga tampak pada kebebasannya. Manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan karena tidak terkekang oleh kodrat dan insting. Namun, kebebasan manusia sebenarnya terletak pada kemampuan untuk memilih dan menjatuhkan pilihan atau keputusan atas hidup serta perilakunya. Dalam hidupnya, manusia menjumpai dan menghadapi berbagai rangsangan atau stimulasi dan terdorong untuk memberi tanggapan atau respons terhadap stimulasi itu. Manusia tidak bebas secara mutlak. Hidup dan perilakunya dibatasi oleh keadaan konkret fisik, psikologi, orang lain, dan lingkungan yang ada. Dengan kebebasannya manusia mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasnnya. Manusia tidak menjadi korban lingkungan dan keterbatasan-keterbatasannya, tetapi ia dapat mengatasinya. Tidak pasif dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam hidup serta tidak bersikap reaktif dengan hanya berdasarkan dorongan emosi. Manusia mampu menanggapi tantangan-tantangan hidupnya secara proaktif dengan menerima hidup dan tantangan yang ada, lalu menentukan inti dari masalah hidup atau tantangan yang dihadapi, kemudian membuat analisa dan menentukan sikap untuk memutuskan cara yang paling baik untuk menghadapi masalah tersebut.

Daya spiritual manusia juga tampak pada hati nuraninya. Hati nurani merupakan alat timbang dan ukur manusia untuk menilai baik-buruk perilakunya. Melalui hati nurani, manusia dapat meninjau perilaku yang sudah diabstraksikan dari pelaksanaan konkretnya, dari segi baik-buruknya sebagai perilaku manusia, dari segi manusia, dan dari segi baik-buruknya secara moral. Hati nurani berarti hati yang diterangi, juga disebut suara hati, artinya penyampaian penilaian baik-buruknya secara moral atasperbuatan manusia, baik yang sudah maupun yang belum dilakukan. Hati nurani yang menilai perbuatan yang sudah dilakukan disebut hati nurani retrospektif, sedang hati nurani yang menilai perbuatan yang akan dilakukan di masa mendatang disebut hati nurani prospektif.

Sifat spiritual manusia paling tampak pada sifat transendennya. Transenden berarti mengatasi atau melampaui, hal baru yang belum ada dalam tahap hidup sebelumnya, hal yang sedemikian baru atau tinggi sehingga ada di luar segala hal yang pernah dijumpai dalam hidup sampai saat ini. Dengan sifat tersebut manusia menjadi terbuka. Terbuka berarti bahwa dalam diri manusia tersedia ruang, terdapat dorongan, dan ada kemampuan untuk diisi dan dipenuhi oleh sesuatu.dengan keterbukaan yang transenden itu, manusia mampu keluar dari dirinya sendiri lalu mengenal dan menangkap realitas di luar dirinya. Dengan keterbukaan tersebut, manusia mampu memahami yang tidak terbatas (mahabaik, mahabenar, mahaadil) dan rindu serta terdorong untuk mencapainya. Ini berarti manusia mampu memahami Realitas Tinggi, Terbaik, Terbenar, Teradil, (yakni Allah sendiri) dan terdorong dari dalam untuk mencapai-Nya.


BAB 2

RELIGIOSITAS

Manusia adalah makhluk yang mampu memahami yang transenden dan mampu menjangkaunya. Kemampuan ini membuat manusia mengalami keterbatasan-keterbatasan diri dan hidupnya, dan terdorong dari dalam untuk mencapai yang transenden guna memenuhi diri dan hidupnya. Yang transenden dialami manusia melalui pengalaman yang membuat manusia mengalami ekstase, keluar dari dirinya. Ekstase dapat terjadi pada tingkat alamiah dan supra-alamiah. Ekstase pada tingkat alamiah berkaitan dengan perasaan manusia. Sedangkan ekstase pada tingkat supra-alamiah terjadi saat manusia menjumpai sesuatu yang sama sekali lain dan tidak berasal dari lingkup dunia dan pengalaman manusia yang biasa, yang biasa disebut pengalaman religious (religious experience). Pengalaman adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan hubungan langsung antara kesadaran dan sesuatu yang nyata yang datang pada kesadaran, entah kejadian, keadaan, hal, atau orang. Dengan pengalaman orang menyadari sesuatu, dan oleh pengalaman itu terjadi perubahan pada diri, hati, budi, dan tubuhnya.

Kata religious berasal dari kata latin religious yang merupakan kata sifat dari kata benda religio. Dalam kata religio terdapat tiga unsure. Pertama, memilih kembali sesuatu yang sebetulnya sudah ada tetapi dengan berjalannya waktu menjadi terlupakan. Kedua, mengikuti diri kembali pada sesuatu yang dapat dipercaya dan diandalkan, yang sebelumnya telah ada tapi tidak disadari. Ketiga, sesudah memilih kembali dan mengikatkan diri, manusia terus-menerus berpaling pada sesuatu itu. Pengalaman religius adalah pengetahuan manusia akan “Sesuatu” yang ada di luar dirinya melebihi dirinya, Yang Transenden, Yang Ilahi, yang diperoleh secara langsung melalui hubungan sadar antara dirinya dan “Sesuatu” yang melebihi dirinya itu. “Sesuatu” yang lain, Yang Transenden, Yang Ilahi itu dalam bahasa agama disebut Allah atau Tuhan. Dalam pengalaman akan Allah itu, manusia mengenal Allah dan berhubungan dengan-Nya.

Yang Ilahi, Allah, yang dialami dalam pengalaman religius dapat diketahui melalui pikiran, permenungannya atas hidup, dan pewahyuan. Menurut Thomas Aquinas manusia dapat mengenal Allah melalui 5 jalan (five ways). Pertama, pemikiran tentang gerak di dunia. Seluruh unsure alam raya dan segala makhluk yang ada di dalamnya bergerak. Penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh apapun atau siapa pun adalah Allah. Kedua, di dunia ini tidak ada akibat tanpa sebab. Segala hal dan makhluk di dunia ini tidak disebabkan oleh diri sendiri tetapi oleh penyebab lain. Penyebab pertama dari segala hal dan makhluk yang tidak disebabkan oleh atapun atau siapapun adalah Allah.

Ketiga, segala hal dan makhluk di dunia dapat ada dan dapat tidak ada. Keberadaan itu tidak berasal dari ketiadaan atau dari dirinya sendiri. Keberadaan itu harus berasal dari Yang Mahaada. Yang mahaada dan tidak diadakan oleh siapapun dan apapun adalah Allah. Keempat, segala yang ada di alam raya itu relatif kesempurnaannya, tidak ada yang sempurna mutlak. Yang Mahasempurna adalah Allah. Kelima, semua hal dan makhluk rasional dapat mengarahkan diri ke tujuan karena memiliki kebebasan. Semua makhluk hidup lain dan benda-benda mati iti bergerak dan terarah ke tujuan. Pengarah semua makhluk hidup yang bukan manusia dan bebda-benda itu adalah Allah. Alla sebagai penggerak pertama penyebab pertama, Yang Mahaada, Yang Mahasempurna, pengarah segala itu sungguh-sungguh ada karena hasil atau dampaknya nyata-nyata ada.

Permenungan manusia atas hidupnya meliputi permenungan tentang asal-usulnya, hidupnya saat ini, dan hidupnya di masa depan. Manusia lahir di dunia bukan atas kehendaknya sendiri. Pada waktu merenungkan asal-usulnya, ada manusia yang sampai pada kesimpulan bahwa kelahiran dan keberadaannya di dunia merupakan hasil proses yang kebetulan. Manusia menyimpulkan bahwa dirinya ada karena dirancang untuk ada, diciptakan sehingga ada, dan diadakan untuk suatu tujuan. Perancang dan pencipta manusia adalah Allah. Dengan berbagai pertanyaan tentang hidupnya sekarang ini, manusia merenungkan hidupnya yang sedang dijalaninya. Jika manusia diciptakan dan ditempatkan di dunia ini oleh Sang Pencipta, Allah sendiri, maka hidupnya di dunia juga diberi mandat dan pengutusan untuk menyumbang sesuatu. Dengan melihat seluk-beluk hidupnya, manusia sampai pada kesimpulan bahwa Allah telah menawarkan peran bagi hidupnya. Dengan melakukan hidup di dinia dan dengan berusaha untuk terus-menerus manjadi manusia baik dan melaksanakan peran dengan menyumbangkan jasa kepada sesama dan masyarakatnya, manusia akan mencapai tujuan hidup: berada dan bersatu dengan Sang Pencipta, Allah.

Berdasarkan analisis atas hidupnya yang sekarang dan gambaran tentang yang akan datang, manusia berjalan menuju masa depannya. Sesudah banyak berpikir dan merenungkan hidupnya, akhirnya pada suatu ketika manusia sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya tujuan yang layak dikejar dan diusahakan adalah Allah sendiri. Allah adalah suatu masa depan dan tujuan hidup manusia. Demikian berkat permenungannya, manusia sampai pada kesimpulan bahwa Allah adalah asal-usul, penyelenggara, dan tujuan kehidupan.

Ilham adalah pemberitahuan dari atas, entah apa itu, terutama dalam bidang seni atau ilmu. Wangsit adalah pemberitahuan dari atas yang ditujukan pada seseorang agar berbuat sesuatu. Wahtu adalah pemberitahuan dari Allah kepada seseorang, biasanya nabi atau pendiri agama. Wahyu ditujukan kepada orang lain, masyarakat, bahkan dunia. Wahyu adalah kesediaan Allah untuk mengungkapka diri dan menyatakan kehendak-Nya kepada manusia dan dunia. Wahyu itu ada yang tetap dilestarikan berupa pernyataan lisan dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Melalui wahyu pengetahuan manusia tentang Allah menjadi lebuh lengkap daripada pemikiran atau permenungannya sendiri. Pengetahuan manusia akan Allah dapat diperluas dan diperdalam dengan mempelajari dan merenungkan tradisi-tradisi keagamaan asli dan kitab-kitab suci.

Allah yang dikenal melalui pemikiran, permenungan, dan pewahyuan itu dapat dialami. Alah dapat diketahui melalui hubungan langsungdan sadar dimana manusia sungguh-sungguh berhubungan dengan Allah secara langsung dan sadar. Dalam menjalani hidup di dunia, pada saat-saat tertentu manusia dapat mengalami Allah yang melampaui dan mengatasi dirinya. Pada waktu meninjau hidupnya, manusia menemukan bahwa hidupnya seperti diarahkan sejak semula. Jalinan peristiwa-peristiwa hidup meyakinkannya bahwa hidupnya diselenggarakan dengan baik oleh Allah, Sang Penyelenggara. Pengalaman ini tentu saja membantunya untuk semakin mendekatkan diri pada Allah dan semakin bersedia untuk bekerja sama dengan penyelenggaraan-Nya dalam sisa hidup yang masih harus dijalaninya.

Pada saat-saat tertentu manusia meninjau hidup batinnya, dari peninjauan itu manusia sampai pada kesimpulan bahwa dalam dirinya ada yang salah, kesadaran itu mendorongnya untuk mengubah hidupnya. Dorongan untuk berubah adalah dorongan untuk berjalan lebih jauh, mengatasi dan melampaui dirinya sebagaimana adanya, dan berbuat segala sesuatu yang diperlukan untuk menjadi manusia yang baik dan mampu member jasa ysng lebih banyak serta lebih bermutu kepada sesama dan masyarakat. Dari pengetahuan dan pengalaman akan Allah, manusia sampai pada keadaan di mana ia merasa dan sadar akan hubungan serta ikatannya kembali dengan Allah. Perasaan dan kesadaran itu disebut religiositas, dan dari religiositas ini lahir agama. Dengan demikian, religiositas adalah sumber, pangkal, jiwa, semangat, dan roh agama. Tanpa religiositas, agama menjadi kering, sepi, dan kaku serta dingin seperti badan tanpa nyawa.


BAB 3

AGAMA

Orang yang telah mengetahui Allah, mengalami kehadiran-Nya, merasakancamput tangan-Nya dalam hidup, dan menerima wahyu-Nya, tidak dapat diam. Karena pengalaman pribadi berjumpa dengan Allah, orang yang mengalami perjumpaan dengan Allah terdorong dari dalam dirinya menceritakan perjumpaan itu kepada orang lain. Ia menyampaikan pada mereka pengalamannya akan Allah itu. Ia mewartakan pada orang lain apa hakikat Allah, apa pikiran dan kehendak-Nya bagi umat manusia dan dunia. Ia berusaha membantu mereka mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang Allah seperti yang dialaminya agar hidup mereka bahagia seperti hidupnya.

Religio pada intinya adalah pengenalan, hubungan, dan ikatan kembali dengan Allah dikonkretkan dalam agama. Dengan kata lain, agama adalah pelembagaan religiositas oleh masyarakat penganutnya. Menurut Ensiklopedi Indonesia I (Ed. Hassan Shadily), istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta: a berarti berjalan tidak, gam berarti pergi atau berjalan dan a yang berarti bersifat atau keadaan. Jadi, agama berarti sifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal.

Inti dari sumber agama adalah religiositas, yaitu perasaan dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Allah kerena manusia telah mengenal dan mengalami kembali Allah, dan percaya kepada-Nya. Dari penghayatan kesadaran akan hubungan dan ikatan dengan Allah itu, maka muncullah agama dengan empat unsure utamanya yaitu dogma, doktrin, atau ajaran, ibadat atau kultus, moral atau etika dan lembaga atau organisasi. Dogma merumuskan hakikat Allah yang dikenal, dialami, dan dipercaya, serta kehendak-Nya untuk manusia dan dunia. Ibadat menetapkan bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan Allah.

Moral menggariskan pedoman perilaku yang menetapkan perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan pengalaman dan kepercayaannya terhadap Allah dalam hidup. Lembaga mengatur hubungan antara penganut agama satu sama lain, dan hubungan mereka dengan pimpinan agama mereka dalam rangka penghayatan religiositas secara bersama-sama. Karena agama dilepaskan dari religiositas, maka dalam menjalani dan menghayati keempat unsure agama itu orang beragama tidak mengaitkan dengan Allah. Karena dilepaskan dari hakikat Allah dan kehendak-Nya bagi umat manusia dan dunia, dogma tentang Allah dan kehendak-Nya menjadi rumusan-rumusan tentang isi-isi pokok agama yang berdiri sendiri. Seringkali dogma agama sebagaimana dirumuskan itu dianggap sudah paling sempurna, maka tidak bias dan tidak boleh diubah. Orang hanya harus menerima dan mempelajarinya. Bahkan, penafsirannya pun dibuat resmi dan dianggap baku. Menafsir dogma agama secara lain dinilai sombong, berani, memberontak bahkan murtad dari agama.karena dogma agama dianggap sudah sempurna, maka tidak mustahil bahwa dogma semacam itu mendorong para penganutnya terpeleset dalam kesombongan agama.

Ibadat lama-kelamaan menjadi magi dan tabu. Ibadat menjadi magi manakala rangkaian perbuatan yang dilakukan dan kata yang diucapkan serta berbagai benda yang digunakan, asal dilakukan dengan baik, dengan sendirinya akan mendatangkan keberuntungan dan membebaskan orang dari bahaya. Jadi tujuan ibadat bukan untuk memuja dan menyembah Allah serta mempererat hubungan dengan-Nya, tapi untuk mendapatkan keberuntungan ataudihindarkan dari bahaya. Ibadat diperlakukan sebagai hal yang tabu. Ibadat mempunyai aturan dan tata tertib menurut pemikiran tabu harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Karena diperlakukan sebagai magi dan tabu, ibadat sudah bukan lagi menjadi sarana untuk berhubungan dengan Allah, melainkan sebagai perbuatan kramat. Karena dilepaskan dari religiositas, moral agama juga dilepaskan dari maksud dan kehendak Allah dan berdiri sendiri, lalu menjelma menjadi perintah dan larangan. Orang tidak melanggar perintah atau larangan agama bukan karena takut menghina Allah dan merusak hubungam dengan-Nya, tetapi Karena takut hukuman. Berubahnya moral agama menjadi peraturan mengakibatkan beberapa akibat.

Pertama, dengan entengnya orang beragama melanggar perintah agama. Kedua, karena perintah agama menjadi peraturan, orang dapat menjadi munafik. Ketiga, seandainya dengan jujur melaksanakan perintah dan menaati larangan, orang yang melihat moral agama hanya sebagai peraturan tidak amat terbantu dalam penghayatan agamanya karena sikapnya menjadi sekedar sikap legalitas. Keempat, tuntutan moral agama adalah berat. Karena tidak mampu memenuhi tuntutan moral agama itu, orang mengakali pelaksanaannya. Dalam konteks religiositas, lembaga adalah sarana pengembangan dogma, ibadat, dan moral. Namun bila dilepaskan dari religiositas, lembaga dapat menjadi tujuan tersendiri. Terkadang agama dijadikan alat untuk memperkuat identitas, atau menunjukkan kelebihan agamanya pada masyarakat agar mendapat pujian.

BAB 4

SPIRITUALITAS

Spiritualitas berasal dari kata latin spiritus yang berarti roh, jiwa, semangat. Spiritualitas berarti hidup berdasarkan atau menurut roh. Dalam konteks hubungan Yang Transenden, roh itu adalah Roh Allah sendiri. Spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh dan bimbingan Roh Allah. Dengan spiritualitas, manusia bermaksud membuat diri dan hidupnya dibentuk sesuai dengan semangat dan cita-cita Allah. Spiritualitas merupakan peningkatan hidup beragama yang bersumber pada religiositas. Dengan menghayati spiritualitas, orang beragama menjadi orang spiritual, yaitu orang yang menghayati Roh Allah dalam hidup nyata sehari-hari sesuai dengan panggilan dan peran hidupnya. Dalam penghayatan agama, orang spiritual memahami dogma, menjalankan ibadat, melaksanakan moral, dan mendayagunakan lembaga agama secara secara berbeda dan dalam tingkat yang lebih tinggi daripada orang yang hanya menjalankan agama.

Bagi orang spiritual dogma agama sangat penting. Dogma digunakan sebagai titik tolak dan sarana untuk mendalami hakikat dan kehendak Allah dan memahami misteri-Nya. Jika membaca dan mempelajari Kitab Suci, orang spiritual tidak berhenti pada Kitab Suci, tapi melelui Kitab Suci ia berusaha menganal Allah. Orang spiritual menghargai Kitab Suci, namun buka dilihat sebagai tujuan. Kitab Suci hanyalah sarana untuk mengenal Allah, hakikat, karya, da kehendak-Nya bagi manusia dan dunia.

Ibadat bagi orang spiritual bukan sekedar kewajiban agama yang harus dilaksanakan agar dapat ganjaran dan terhindar dari hukuman. Bagi orang spiritual, pentingnya ibadat dilihat dari dilihat dari hubungan dengan Allah dan penguasa-Nya di dunia. Dengan ibadat orang-orang spiritual orang spiritual pertama-tama hendak menyediakan waktu untuk hadir di hadapan Allah. Kehadiran itu tidak dirasakan sebagai kewajian yang menjadi beban, tetapi sebagai kesempatan istimewa. Pada waktu menjalani ibadat di hadirat Allah, orang spiritual mengucapkan rasa syukur atas penyertaan-Nya serta penyelenggaraan-Nya dalam hidupnya dan segala kebaikan yang telah diterimanya. Dan mohon ampun atas segala kekurangan, kesalahan, dan dosa-dosanya. Orang spiritual sadar bahwa dalam hidup ini ia mendapat dua tugas utama dari Allah. Pertama, agar berkembang menjadi manusia dengan kualitas seperti yang diharapkan Allah. Kedua, melaksanakan misi hidup guna mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi sesame dan masyarakat.

Tidak terpikirkan oleh orang spiritual melakukan ibadat hanya untuk menunjukkan identitasnya sebagai penganut agama yang taat, dan untuk mencari pujian dari sesamanya. Bagi orang spiritual, moral agama yang berupa prinsip-prinsip etis dan perintah-perintah atau larangan-larangan agama bukanlah sekedar sarana untuk mendapatkan balasan baik dan menghindari balasan buruk, atau mendapatkan surga dan menghindari hukuman di neraka. Ia memiliki kepercayaan dan keyakinan penuh bahwa ia hidup menurut pengaruh dan bimbingan Roh-Nya, Allah akan memberi balasan yang sesuai. Melaksanakan perintah dan menaati larangan agama membuat orang spiritual makin maju dalam hidup pribadi dan makin berarti sumbangannya kepada sesame dan masyarakat, pelaksanaan perintah dan penaatan larangan itu membuat orang spiritual dari hari ke hari semakin baik pribadinya.

Orang spiritual mengakui perlu dan pentingnya organisasi keagamaan. Bagi para penganut agama, organisasi keagamaan itu baik karena berguna untuk mengatur, memelihara, dan mengembangkan kehidupan beragama umat. Melalui lembaga itu ditetapkan struktur organisasi. Lembaga hanyalah sarana untuk pemeliharaan dan pengembangan hidup iman umat. Dengan keberadaan lembaga, maka diharapkan spiritualitas para penganut agama dapat dipelihara dan berkembang. Bagi orang spiritual yang penting dalam lembaga keagamaan adalah pemeliharaan dan pengembangan religiositas dan spiritualitas umat, buka kesan atau tanggapan umat.

BAB 5

AGAMA AJARAN DAN AGAMA PANUTAN

Agama ajaran adalah agama yang mendasakan diri pada ajaran atau doktrin. Ajaran itu menyangkut ajaran ajaran dibidang dogma, ibadat atau kultus, moral atau etika, dan lembaga atau organisasi. Agama ajaran menjadikan dogma agamanya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan tentang agamanya dari pegangan yang lengkap untuk mengatur hidup dan menghadapi segala tantangan zaman. Agama ajaran menganjurkan para penganutnya mempelajari dogma agama dan membaca Kitab Suci, serta mempelajari tradisi keagamaan dan mendalami penafsiran pemimpinnya. Ibadat merupakan kewajiban yang harus ditaati, supaya mendapat ganjaran. Moral agama merupakan perintah atau larangan lengkap dengan ganjaran ban hukuman yang menyertainya. Dengan pandangan demikian ada bahaya penghayatan agama penghayatan agama dapat menjadi formalistic, legalitas, tetapi juga munafik. Agama ajaran membatasi penghayatan agama pada pembelajaran dan pemahaman ajaran agama dan usaha untuk melaksanakannya. Meskipun orang mengetahui dengan baik ajaran agamanya, belum tentu orang beragama tersebut mau dan mampu melaksanakan ajaran agamanya.

Agama panutan adalah agama yang penghayatannya didasarkan pada tokoh yang dianut. Tokoh tersebut pertama-tama adalah Allah sendiri, kemudian nabi utusan Allah, lalu tokoh-tokoh agama yang dinilai layak untuk diikuti dan diteladani. Dalam agama panutan, penganut agama itu berpegang pada ajaran agamanya, tapi ajaran itu tidak dilepaskan dari sumbernya, yaitu Allah yang mengajarkannya. Penganut agama berusaha menempatkan dalam konteks pemikiran dan kehendak Allah untuk umat manusia. Penafsiran dan pendalaman salah satu ajaran ditempatkan dalam konteks kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi umat manusia itu.

Penganut agama panutan melihat ibadat dan melakukannya untuh hadir, bertemu, serta berdialog dengan Allah tentang hubungannya dengan Allah dan pelaksanaan misi hidupnya di dunia. Moral sebagai ajaran Allah kepada manusia untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bekerja bersama Allah mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan di dunia. Perintah dan larangan bukan merupakan kewajiban yang menjadi beban, tapi tantangan yang harus dijawab. Cita-cita penganut agama panutan adalah menjadi serupa seperti Allah sendiri.

Prnganut agama ajaran tekum mempelajari dogma agamanya, rajin membaca dan merenungkan Kitab Suci dan tradisi keagamaan karena untuk itulah Allah berkenan menyediakan ganjaran di akhirat. Ia menaati ketetapan dan peraturan ibadat. Setiap hari ia akan melakukan doa sebanyak perintah ketetapan agamanya. Penganut agama ajaran percaya dan berian kepada Allah, namun Allah tetap tinggal jau di surga. Pada waktu mengumpulkan kebaikan di dunia, penganut agama melakukannya sendiri tanpa disertai Allah karena Allah yang jauh itu hanya menyertai dengan berkat dan rahmat-Nya saja. Dengan dasar pemikiran dan praktek hidup keagamaan ajaran, ada beberapa hal yang tidak tepat.

Pertama, penganut ajaran agama jatuh pada sikap moralisme, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa manusia dapat mencapai surga dengan kekuatannya sendiri, asal berbuat lebih banyak kebaikan dan lebih sedikit kejahatan. Kedua, motif melakukan kebaikan adalah surga, jadi keuntungan sendiri, bukan orang atau keadaan yang diberi perbuatan baik. Ketiga, karena berbuat kebaikan demi hadiah surge, maka dikhawatirkan bahwa penganut agama ajaran hanya melakukan kebaikan yang ditetapkan oleh agama saja. Keempat, kerana sibuk memikirkan surga saja, menjadi tidak peka terhadap penderitaan sesame dan lingkungan yang membutuhkan uluran tangan dan jasa baik.

Kesibukan orang spiritual selama menjalani hidup adalah berusaha hidup dan bekerja di bawah bimbingan Roh Allah. Ia terus berusaha berada bersama dengan Roh Allah agar dirinya diresapi oleh Roh itu. Ia selalu berusaha untuk hidup oleh Roh Allah untuk menyerap daya-daya baiknya agar dirinya dan hidupnya baik dan mampu menghasilkan buah-buah kebaikan. Dalam hidup dan bekerja penganut agama panutan tidak sendiri, tetapi bersama Allah melalui Roh-Nya. Allah baginya bukan Allah yang jauh dan baru dijumpainya setelah meninggal, tetapi Allah yang sudah dijumpai dalam hidup di dunia ini. Maka jika surga adalah hidup bersama Allah, penganut agama panutan sudah hidup di surge sejah hidup di dunia ini.


BAB 6

HIDUP SPIRITUAL YANG MEMBUMI

Hidup spiritual adalah hidup yang berpusat pada Roh Allah dan dijiwai oleh-Nya dengan tetap hidup di dunia dengan segala masalahnya. Dengan hidup spiritualnya, orang spiritual berusaha untuk semakin ari semkakin menyatu dengan Roh Allah, hidup mengambil bagian dari sifat-sifat Allah serta ikut bekarja bersama Allah mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan di dunia. Orang spiritual tidak perlu menjadi Allah, ia tetap menjadi manusia, dirinya sendiri, namun pengaruh Roh Allah pada dirinya amatlah kuat, Roh Allah mengarahkan dan mengendalikan seluruh dirinya dan sepak terjangnya. Ia menyerap sifat-sifat Allah yang seuai dengan dirinya. Ia hidup dan bekerja bersama Allah sesuai peran hidupnya. Untuk berkembang dalam hidup spiritual, orang menjalani proses secara konsentris melalui tiga tahap yaitu pembersihan, penerangan, dan penyatuan selama hidupnya di dunia.

A. Tahap Pembersihan (Purgation)

Merupakan tahap di mana manusia bekerjasama dengan Allah untuk membersihkan diri dari dosa-dosa actual yang sudah dilakukan dan dari akar-akar dosa tersebut. Dosa-dosa aktual adalah dosa yang memang sudah dilakukan dengan melanggar perintah Allah. Dosa-dosa actual dibersihkan dengan cara mohon ampun dan penyelesaian serta pemberian silih.

Dosa mempunyai beberapa sumber (akar-akar dosa):

1. Kenangan buruk akan peristiwa-peristiwa pahit dan memalukan yang menimpi dirinya pada masa lampau.

2. Nafsu dan dorongan yang tidak terkendali. Orang tidak mampu mengendalikan nafsu, suka mengeluarkan kata-kata keras dan kotor.

3. Motivasi yang jahat. Orang orang bermotovasi jahat di mana saja terdorong untuk berbuat jahat dan melakukan kejahatan kepada orang atau masyarakat.

4. Visi yang keliru, membuat orang berpikir, berperasaan, dan bertindak keliru.

5. Orang yang bercita-cita salah memimpikan hal-hal yang tidak sesuai dengan keadaan dan kemampuannya, dan ia mengejar hal yang salah.

B. Tahap Penerangan (Illumination)

Merupakan tahap di mana orang dengan bentuan Roh Allah mencari kejelasan tentang dirinya, hidup, misi, dan perannya dalam masyarakat. Penerangan tentang diri meliputi penerangan visi, prinsip, nilai, pandangan, motivasi, kehendak, kepribadian, dan sifat-sifat pribadinya. Penerangan tentang hidup berkaitan dengan makna dan tujuan hidup, serta cara hidup yang seharusnya. Berdasarkan hasil penerangan itu, orang dapat memahami hal-hal yang sebelumnya tersembunyi sehingga menjadi jelas dan terdorong memperbaiki hal-hal yang kurang baik, dan mengarahkan hal-hal yang sudah baik ke tingkat yang lebih baik.

C. Tahap Penyatuan (union)

Bersama Roh Allah ia merasa mantap dalam hidup, terdorong untuk memperbaiki diri, meningkatkan diri dan perannya, mengusahakan hal-hal baik dan mengejar hal-hal yang luhur. Yang disatukan adalah Allah manusia dan Allah serta usaha manusia dan karya Allah. Proses pembersihan, penerangan dan penyatuan terjadi terus-menerus dalam hidup manusia. Orang spiritual adalah orang yang tekun, tangguh, tegar, tabah, berani, murah, dan besar hati, penuh semangat, gairah, professional, tahu apa yang harus dikerjakan, dan mampu mengerjakannya karena ia yakin akan cita-citanya dan tahu bahwa cita-citanya luhur dan bermakna.

Untuk menjadi orang spiritual, orang harus rela meninggalkan segala-galanya yang mengganggu, menghambat, danmanghalangi karya Roh Allah dalam dirinya. Ia rela melakukan askese atau latihan yang diperlukan. Askese berguna untuk memusatkan pandangan dan usaha untuk mencapai cita-cita hidup spiritual. Macam-macam askese antara lain sebagai berikut,

1. Doa

Doa adalah latihan doa selama 30-60 menit perhari, pada jam tertentu yang secara khusus digunakan untuk hadir, merenung, meditasi, dan kontemplasi di hadapan Allah. Dalam doa manusia dapat berbicara dengan Allah tentang masalah dan pengalaman hidupnya untuk menemukan pemecahan dan hikmahnya.

2. Mati Raga (mortification)

Adalah menunda pemenuhan insting, dorongan, keinginan, dan kebtuhan yang lebih kecil untuk kepentingan yang lebih besar, untuk kepentingan yang sesaat untuk kepentingan jangka panjang.

3. Berpantang

Adalah tidak makan, tidak melakukan sesuatu untuk sementara waktu. Pantang berguna untuk memahami nafsu-nafsu dan dorongan-dorongan pribadi untuk diarahkan pada cita-cita spiritual.

4. Berpuasa

Adalah tidak makan dan tidak minum selama beberapa waktu sesuai kemampuan seseorang. Bertujuan untuk merasakan dan mengamati dorongan untuk makan dan minum, dan mengembangkan nilai-nilai spiritual seperti kerelaan, kesungguhan, ketabahan, kesabara, dan ketekunan.

2 komentar:

Bean Says

Thanks for follow my blog

Royalgreen

Royalgreen
Berpijak di atas bumi, tetap berdiri dan bertahan dtengah kerasnya kehidupan yang tak menghargai ketidaksempurnaan dan tak ada toleransi bagi sebuah kelemahan.